Selasa, 31 Juli 2007

Generalis dan Spesialis


"Pemimpin itu memang harus generalis, dia bukan seorang spesialis seperti manager". Demikian kira-kira kalimat yang masih bisa aku ingat dari sebuah debat calon Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu. Lalu lawan debat juga membalasnya dengan tidak kalah argumentatif " Lalu mau dibawa kemana DKI ini kalo dipimpin oleh orang yang belum berpengalaman dan berdasar teori belaka? DKI ini cukup komplek, bukan daerah biasa yang baru berkembang dan tidak punya apa-apa".

Cukup menarik dan masuk akal memang masing-masing pihak dalam menyampaikan argumentasinya untuk membela sang calon. Namun terlepas konteksnya adalah Pilkada, aku tidak menggarisbawahi permasalahannya di titik tersebut. Aku lebih tertarik dengan konsep kepemimpinan itu sendiri yang dalam hal ini memiliki dua aspek pendekatan yang berbeda. Di satu kubu memperlihatkan "keluasan dalam pemahaman fungsi leader (generalis)" dan kubu yang lain menonjolkan "pengalaman yang matang serta kedalaman dalam mengenali masalah yang dihadapi (spesialis)". Tidak penting bagiku mana yang benar. Karena buatku kebenarannya baru bisa dibuktikan dengan pelaksanaan kepemimpinan itu sendiri. Namun satu hal yang membuat aku sangat tertarik adalah masalah "generalis" dan "spesialis" nya.

Dalam perspektifku, seorang pemimpin memang haruslah seorang yang generalis dengan area keluasan yang sangat menyesuaikan visi dan misi dalam kepemimpinannya. Namun di satu sisi yang lain ketika mulai dimasukkan parameter-parameter seperti batasan waktu, permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini dan sebelumnya, program-program yang harus tetap dilanjutkan sebagai sebuah komitmen, dan sebagainya semuanya akan menjadi lebih mengarah kepada kebutuhan track record atau pengalaman yang akan menjurus kepada spesialis.

Meski demikian, semua akan kembali kepada satu faktor kunci syarat untuk menjadi seorang pemimpin itu sendiri yaitu trust. Hanya kepercayaanlah yang mampu membawa seseorang duduk di atas kursi kepemimpinan yang sesungguhnya. Meskipun terkadang memang kepercayaan komunal sendiri telah banyak yang menganggap "bisa dibeli" saat ini di negeri ini. Namun sebagai pribadi yang menurutku masih bermoral (mudah-mudahan orang lain juga masih menganggapnya demikian....hehehe piss!!!), aku masih percaya bahwa kepercayaan itu tidak bisa dibeli. Yang bisa dibeli menurutku hanyalah kepentingan belaka.

Kepercayaan akan tumbuh seiring dengan pengalaman (spesialisasi), keluasan jiwa dan pemikiran (generalis) serta mungkin faktor-faktor lain. Yang tidak kalah pentingnya menurutku dalam konteks generalis dan spesialis adalah kapan dan dimana kita harus memakai dua jurus tersebut. Ada sebuah faktor yang berperan disini, yaitu intuisi. Dan lagi-lagi, intuisi juga bukan merupakan hal yang bisa didapatkan secara instan.

Dalam pemikiranku yang sederhana ini, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa setiap orang akan punya potensi menjadi seorang pemimpin. Karena aku yakin bahwa pemimpin itu lahir dari sebuah proses. Dan yang jelas, dalam keyakinanku semua akan kembali lagi kepada kapasitas masing-masing orang untuk bisa menjawab "sanggup" dan "tidak sanggup" untuk memperbesar atau memperluas defaultkapasitas pemimpin pada diri kita pemberian sang Ilahi.

Minggu, 22 Juli 2007

In..do..ne...sia...!!!

( Ternyata Nasionalisme itu masih ada)

Setelah sekian lama dukungan terhadap Timnas sepakbola terasa sepi, tiba-tiba keheningan itu kini pecah. Ya, ribuan supporter hadir untuk mendukung Timnas Sepakbola Indonesia tanggal 18 Juli 2007 lalu. Dan aku adalah salah satu diantara supporter tersebut. Meski pertandingan harus berakhir dengan kekalahan Timnas dari Tim Korea, namun aku cukup salut dengan perjuangan Timnas. Menurutku, Timnas telah mengalami kemajuan yang luar biasa pesat.

Salah satu hal yang menarik perhatianku ketika pertandingan berlangsung, para gibol di lapangan menunjukkan anemo dukungan yang luar biasa dan pantas untuk diacungi jempol. Berbagai spanduk berslogan dukungan moril terhadap Timnas bertebaran di pinggir-pinggir lapangan. Sorak-sorai teriakan supporter seolah tiada berhenti selama pertandingan berlangsung. Dan yang paling membuat bulu kuduk ini merinding, ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan di awal pertandingan. Semua isi stadion yang merasa menjadi supporter Timnas Indonesia ikut bernyanyi dengan khidmat. Khayalanku langsung tertuju seolah aku berada di tahun ketika lagu itu pertama kali dikumandangkan. Dalam benakku berkata, ternyata nasionalisme masih ada dan bercokol di lubuk hati bangsaku. Minimal di lubuk hati para gibol di lapangan waktu itu. Ternyata nasionalisme itu indah. Hampir saja air mata haruku menetes (busyet, jadi cengeng gini aku ya).

Seusai pertandingan, para supporter bubar dengan cukup tertib. Sesampai di rumah, aku masih terus terngiang-ngiang oleh suasana pertandingan sore hari itu. Istriku pun tak henti-hentinya mengajakku ngobrol perihal itu. Aku melihat rona wajah bangga dia atas Timnas, terutama atas kembalinya kepercayaan masyarakat kepada Timnas. Aku memang tidak pernah meragukan dia untuk urusan nasionalisme.
Seperti biasanya sebelum aku tertidur, otakku masih melayang-layang. Kali ini tentang nasionalisme. Andai semakin banyak hal yang membuat nasionalisme itu tumbuh, makin banyak hal yang membuat bangsa ini bangga atas negeri ini, aku yakin bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar. Semakin itu tumbuh, semakin bangsa ini mandiri, semakin bangsa ini “berdikari” seperti kata-kata Soekarno (berdiri di atas kaki sendiri).





"Foto bersama sebelum masuk stadion"







Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Timnas yang telah menjadi inspirasi kembalinya sebagian rasa nasionalisme dalam diriku. Semoga ke depan Timnas senantiasa semakin berkualitas. Maju terus sepakbola Indonesia !!!

Polantas kampung...!!!


"Maaf, Tulisan ini baru sekarang sempat aku upload karena keinginan ber-blogger ku baru terealisasi saat ini" hehehe...piss..

-----------------------------------------------------------------------------------
Akhir-akhir ini malang jadi macet. Ada proyek pembangunan fly over yang sedang berjalan. Akupun harus mencari jalur alternatif dari rumahku menuju kantor. Untung saja akhirnya aku menemukan sebuah jalur alternatif bagi ruteku tiap hari. Aku tidak perlu pusing lagi memperkirakan kira-kira sampai di kantor jam berapa. Agak berputar jauh juga sih sebenarnya. Tapi apa boleh buat ya beginilah perjalanan karir dan hidupku saat ini yang harus aku jalani.

Setelah beberapa lama aku menjalani rutinitas ini, aku merasa jalur alternatif pilihanku mulai dilirik orang lain juga. Walhasil jumlah kendaraan yang lewat jalur itu makin banyak. Meski jenis kendaraan truk tidak boleh lewat jalur itu, tetep saja terkadang jadi agak macet. Namun untunglah karena jenis kendaraanku motor, aku sedikit lebih fleksibel dalam perjalanan...(ciele...menghibur diri). Bahkan juga sudah sering aku lihat beberapa polisi melakukan operasi pemeriksaan surat-surat kendaraan di jalur itu.

Namun beberapa waktu terakhir ini ada hal yang menarik perhatianku. Di sebuah pertigaan menuju jalan raya utama mulai ada beberapa orang kampung yang mulai menjual jasa untuk mengatur lalu lintas. Aku tidak terkena biaya atas jasa itu. Mereka hanya menarik ongkos jasa mereka bagi mereka yang naik kendaraan roda emapt alias mobil. Makin lama orang yang terlibat pekerjaan itu semakin banyak. Bahkan tidak jarang ada sekitar 5 - 6 orang diwaktu jam-jam ramai kendaraan.

Kalau aku amati, mereka juga tidak cukup ahli dalam mengatur lalu lintas. Bahkan tidak jarang aku lihat justru mereka bikin ribet. Sering aku jumpai komando mereka saling berbenturan. Jadi kalo tidak sambil tengok kanan kiri mungkin juga bisa tabrakan. Tapi aku memaklumi kondisi itu. Mereka hanya orang-orang yang melihat peluang untuk menghasilkan uang tambahan sementara. Bisa jadi juga mata pencaharian satu-satunya mungkin. Terbayang di otakku betapa mungkin mereka cukup sulit mencari penghasilan saat ini. Yah, negeri ini memang sedang serba sulit. Banyak pengangguran, daya beli rendah dan segudang masalah lainnya. Otakku terus menerawang, apakah mereka masih bisa meraup penghasilan seperti saat ini nantinya ketika Flyover terlah jadi? Kemana lagi mereka mencari penghasilan dan seperti apa? Banyak pertanyaan di otak ini yang aku tak mampu menjawabnya. Aku putuskan untuk tidur dan berisiap menyongsong rutinitas esok hari.